Selamat Datang di Websitenye Railfans n Islam Sejati

web ini bwt railfans n islam sejati, tp msh dlm perbaikan sih

Sabtu, 21 Maret 2009

Kereta Api Kertas

Bagi seorang railfans, kecintaan kepada kereta api tentu tidak terbatas. Begitu juga yang dilakukan oleh rekan Dwi Raharjo.
Orang yang satu ini memang dikenal cukup kreatif. Pekerjaannya sebagai ahli IT di sebuah perusahaan pelayaran internasional tidak menghalangi sifat kreatifnya yang tentu saja masih di seputar kecintaan kepada kereta api. Jika banyak modeler mengkoleksi berbagai jenis kereta api model dari berbagai merek, Dwi cukup memanfaatkan keahliannya di bidang komputer untuk menciptakan reka bentuk kereta api model dari kertas.
Dibutuhkan kesabaran dan ketelitian untuk membuat pola kereta api model dari kertas. Dengan bantuan perangkat lunak komputer grafis, berbagai jenis lokomotif, kereta penumpang dan lain sebagainya dapat diciptakan. Setelah gambar selesai dibuat, langkah berikutnya tinggal mencetaknya di kertas karton.Mengunakan printer warna tentu saja menjadi lebih baik, karena kereta model dapat dibuat kaya warna.
Setelah tercetak dengan rapi, langkah yang dilakukan adalah menggunting. Kedengarannya mudah, tetapi ada beberapa model yang ternyata memiliki pola yang cukup rumit, sehingga mengguntingpun menjadi sebuah pekerjaan yang menyulitkan.Sama seperti modeler yang membangun model dari model kit atau modeler yang senang merombak tampilan koleksi keretanya, berikutnya adalah merekatkan kertas-kertas yang sudah digunting tersebut dengan lem kertas. Beberapa lokasi perlu dilipat terlebih dahulu sebelum diberi lem.
Hasil akhir adalah sebuah kereta api model dari kertas yang dapat menghiasi meja kerja. Selain itu kegiatan menggunting, melipat dan menempel dapat juga dilakukan bersama dengan anak-anak, selain untuk mengajarkan kesabaran kepada anak-anak kita, menularkan kecintaan terhadap kereta api adalah sebuah kegiatan yang sangat positif.

Jenis KA Penumpang di Indonesia

Kapasitas angkutan penumpang yang disediakan PT. Kereta Api (Persero) di Jawa dan Sumatera adalah 106.638 tempat duduk/hari, dengan rasio keals eksekutif (15%), bisnis (27%) dan ekonomi (59%). Bila tempat duduk dikaitkan dengan jarak tempuh, total kapasitas 41.528.450 tempat duduk - kilometer per hari, dengan ratio eksekutif (17%), bisnis (25%) dan ekonomi (58%).





Kereta Eksekutif

Segmenting yang mendasari peluncuran KA Eksekutif dilakukan dengan mengklasifikasikan pelanggan dalam beberapa tingkatan value :
Gateway Normal 0 false false false EN-US X-NONE X-NONE MicrosoftInternetExplorer4 Gateway value, konsumen yang menggunakan jasa kereta api hanya mendasarkan kepada fungsinya sebagai alat transportasi
Competitive value, disamping mempertimbangkan fungsi utama sebagai alat transportasi, pelanggan mempertimbangkan pula faktor tingkat kenyamanan dan pelayanan yang dibandingkan terhadap moda pesaing
Ultimate value, pelanggan tidak sekedar menuntut fungsi dan perbandinggan, melainkan juga pertimbangan-pertimbangan psikologis yang tidak dapat diukur batasnya, misalnya gengsi, prestise dan kepuasan








Kereta Bisnis Eksekutif

PT. Kereta Api (Persero) juga menyediakan rangkaian kereta yang memberikan dua jenis layanan, yaitu eksekutif dan bisnis.










Kereta Ekonomi

KA Kelas Ekonomi merupakan salah satu segmen pelayanan produk inti PT. Kereta Api (Persero) di luar sejumlah KA Komersil (Kelas Eksekutif dan Kelas Bisnis). KA Kelas Ekonomi yang dioperasikan PT. Kereta Api selama ini masih di kelompokkan menjadi tiga segmen, yaitu KA Ekonomi Jarak Jauh, KA Ekonomi Lokal dan KA Ekonomi Jabotabek.




Sejarah Perkeretaapian di Indonesia

Kehadiran kereta api di Indonesia ditandai dengan pencangkulan pertama pembangunan jalan KA didesa Kemijen Jum'at tanggal 17 Juni 1864 oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Mr. L.A.J Baron Sloet van den Beele. Pembangunan diprakarsai oleh "Naamlooze Venootschap Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij" (NV. NISM) yang dipimpin oleh Ir. J.P de Bordes dari Kemijen menuju desa Tanggung (26 Km) dengan lebar sepur 1435 mm. Ruas jalan ini dibuka untuk angkutan umum pada Hari Sabtu, 10 Agustus 1867.
Keberhasilan swasta, NV. NISM membangun jalan KA antara Kemijen - Tanggung, yang kemudian pada tanggal 10 Februari 1870 dapat menghubungkan kota Semarang - Surakarta (110 Km), akhirnya mendorong minat investor untuk membangun jalan KA didaerah lainnya. Tidak mengherankan, kalau pertumbuhan panjang jalan rel antara 1864 - 1900 tumbuh dengan pesat. Kalau tahun 1867 baru 25 km, tahun 1870 menjadi 110 km, tahun 1880 mencapai 405 km, tahun 1890 menjadi 1.427 km dan pada tahun 1900 menjadi 3.338 km.
Selain di Jawa, pembangunan jalan KA juga dilakukan di Aceh (1874), Sumatera Utara (1886), Sumatera Barat (1891), Sumatera Selatan (1914), bahkan tahun 1922 di Sulawasi juga telah dibangun jalan KA sepanjang 47 Km antara Makasar - Takalar, yang pengoperasiannya dilakukan tanggal 1 Juli 1923, sisanya Ujungpandang - Maros belum sempat diselesaikan. Sedangkan di Kalimantan, meskipun belum sempat dibangun, studi jalan KA Pontianak - Sambas (220 Km) sudah diselesaikan. Demikian juga di pulau Bali dan Lombok, juga pernah dilakukan studi pembangunan jalan KA.
Sampai dengan tahun 1939, panjang jalan KA di Indonesia mencapai 6.811 km. Tetapi, pada tahun 1950 panjangnya berkurang menjadi 5.910 km, kurang lebih 901 km raib, yang diperkirakan karena dibongkar semasa pendudukan Jepang dan diangkut ke Burma untuk pembangunan jalan KA disana.
Jenis jalan rel KA di Indonesia semula dibedakan dengan lebar sepur 1.067 mm; 750 mm (di Aceh) dan 600 mm dibeberapa lintas cabang dan tram kota. Jalan rel yang dibongkar semasa pendudukan Jepang (1942 - 1943) sepanjang 473 km, sedangkan jalan KA yang dibangun semasa pendudukan Jepang adalah 83 km antara Bayah - Cikara dan 220 km antara Muaro - Pekanbaru. Ironisnya, dengan teknologi yang seadanya, jalan KA Muaro - Pekanbaru diprogramkan selesai pembangunannya selama 15 bulan yang memperkerjakan 27.500 orang, 25.000 diantaranya adalah Romusha. Jalan yang melintasi rawa-rawa, perbukitan, serta sungai yang deras arusnya ini, banyak menelan korban yang makamnya bertebaran sepanjang Muaro - Pekanbaru.
Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945, karyawan KA yang tergabung dalam "Angkatan Moeda Kereta Api" (AMKA) mengambil alih kekuasaan perkeretaapian dari pihak Jepang. Peristiwa bersejarah yang terjadi pada tanggal 28 September 1945, pembacaan pernyataan sikap oleh Ismangil dan sejumlah anggota AMKA lainnya, menegaskan bahwa mulai tanggal 28 September 1945 kekuasaan perkeretaapian berada ditangan bangsa Indonesia. Orang Jepang tidak diperkenankan lagi campur tangan dengan urusan perkeretaapian di Indonesia. Inilah yang melandasi ditetapkannya 28 September 1945 sebagai Hari Kereta Api di Indonesia, serta dibentuknya "Djawatan Kereta Api Republik Indonesia" (DKARI).

PT.KAI Impor KRL Bekas Dari Jepang

Hari Senin 6 Desember 2004 adalah pengiriman kereta api bekas dari Jepang tahap kedua, setelah sebelumnya kereta dengan jenis yang sama telah beroperasi sebagai kereta Bojong Gede Ekspress yang melayani rute Bojong Gede - Jakarta Kota. Rencana kebijakan impor kereta api listrik (KRL) bekas dari Jepang oleh PT Kerta Api Indonesia (PT KAI), sempat diberitakan oleh media koran beberapa bulan yang lalu. Sebagai satu-satunya operator kereta api di Indonesia, kebijakan PT KAI mengimpor kereta bekas dari jepang ini sempat disayangkan oleh beberapa kalangan. Sebagai perusahaan yang berstatus sebagai persero, mencari keuntungan sebanyak-banyaknya tentulah tujuan utamanya, salah satunya adalah menekan biaya pengeluaran. Dalam hal ini PT KAI, sengaja mengambil keputusan lebih memilih impor KRL bekas dari Jepang untuk dengan tujuan utamanya adalah menekan beban biaya pengeluaran untuk pengadaan kereta api yang dirasakan semakin mendesak, seiring dengan bertambah banyaknya jumlah pengguna jasa kereta api. Memang tidak ada yang salah dengan kebijakan mengimpor KRL bekas dari luar negeri (Jepang). Keputusan ini murni didasari semata-mata untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya bagi pihak PT KAI. Namun disisi yang lain sebagai satu-satunya opertor kereta api di indonesia, beberapa kalangan mengharapkan PT KAI perlu memikirkan kepentingan yang lebih luas ketimbang mencari keuntungan sendiri. Beberapa kalangan yang menyesalkan kebijakan mengimpor ini beralasan bahwa Indonesia telah memiliki industri kereta api (PT INKA), sehingga sudah selayaknya kelangsungan hidup industri ini perlu didukung. Pabrik PT INKA selama ini yang memproduksi berbagai hal yang berkaitan dengan kereta api seperti Gerbong Penumpang, Gerbong Barang, Lokomotif yang bekerjasama dengan GE Lokomotif, dan juga memproduksi KRL yang lisensinya didapat dari Holec, Belgia. Selama ini, hampir semua produksi yang dihasilkan PT INKA dibeli oleh PT KAI. Keputusan PT KAI yang lebih memilih mengimpor kereta bekas dari Jepang ketimbang membeli dari dalam negeri (PT INKA) mudah-mudahan telah dipertimbangkan secara masak-masak, karena jika tidak beberapa dampak negatif bisa saja timbul dari kebijakan PT KAI ini. Membeli dari luar negeri tentunya akan menghabiskan cadangan devisa negara, disamping itu pembelian ini umumnya dilakukan dengan melalui utang (terus terang gue gak tau ini beli cash atau utang), jika pembelian dilakukan dengan utang, maka beban negara ini akan semakin berat karena bukan tidak mungkin beban utang luar negeri bangsa ini dapat semakin menghambat pertumbuhan ekonomi negara. Uang yang seharusnya dapat digunakan untuk hal-hal produktif akan terserap untuk pembayaran hutang-hutang plus bunga-bunga utang yang jumlahnya pasti tidak sedikit. Hal lain yang disayangkan adalah karena status KRL yang dibeli adalah barang bekas. Dinegara asalnya sendiri, KRL ini sudah tidak dioperasikan. Dikhawatirkan, kereta ini tidak layak beroperasi karena kendala usia kereta ini. Kondisi KRL bekas belum tentu 100% langsung siap beroperasi, dibutuhkan beberapa perbaikan atau modifikasi yang pastinya juga akan menambah biaya pengeluaran bagi PT KAI sendiri. PT KAI merasa dengan jumlah uang yang mereka belanjakan akan mendapatkan 2 kali lebih banyak rangkaian KRL ketimbang membelinya dari industri kereta dalam negeri (PT INKA). Keputusan yang sulit memang, lebih-lebih semenjak statusnya berubah menjadi persero, PT KAI (dulu PJKA) dituntut agar dapat menghasilkan keuntungan. Subsidi-subsidi pemerintah selama ini terhadap BUMN terbukti cukup membebani keuangan negara, karena kebanyakan dari BUMN ini (termasuk PT KAI) merugi. Untuk mengurangi beban negara, maka banyak dari subsidi-subsidi ini yang mulai dicabut, maka kebijakan PT KAI dalam mengimpor KRL bekas tidak dapat disalahkan begitu saja. Hendaknya pemerintah juga perlu memikirkan nasib sarana-sarana transportasi termasuk industri pendukung yang terlibat didalamnya, dalam hal ini tentu saja PT KAI dan PT INKA. PT INKA jika tidak dapat menjual produk-produknya karena tidak ada yang membelinya --termasuk PT KAI--, maka bisa dipastikan jika kondisi ini tetap berlanjut dapat mengakibatkan bangkrutnya PT INKA yang pada akhirnya akan menambah jumlah pengangguran di negara ini. Keputusan mengurangi subsidi pada BUMN termasuk PT KAI memang harus dilakukan untuk mengurangi beban negara, tapi pemerintah tidak boleh benar-benar mencabut subsidi bagi PT KAI. Sebaliknya dalam tataran tertentu pemerintah harus menaruh perhatian lebih serius dalam pengembangan sarana transportasi masal ini. Dulu pas kuliah Analisa Proyek, pernah denger bahwa dalam melakukan analisa proyek tidak selamanya tujuan utamanya adalah mencari untung secara langsung, tapi meskipun tidak mendapatkan untung secara langsung jika membawa dampak positif bagi aspek sosial ekonomi masyarakat, tentunya hal itu perlu dipertimbangkan juga. Saat itu sang dosen memberikan contoh, proyek membangun jembatan secara ekonomi tidak menguntungkan, karena tidak ada keuntungan secara langsung yang akan didapatkan, malah bisa jadi beban tambahan karena ada akan ada biaya perawatan agar jembatan tetap berfungsi. Namun meskipun tidak secara langsung mendapatkan untung, namun dengan keberadaan jembatan akan mendorong pertumbuhan sosial ekonomi masyarakat. Masyarakat dapat menjual dan mendapatkan barang-barang dengan lebih mudah, lebih cepat, hubungan antar satu daerah dengan daerah menjadi lebih baik dengan adanya jembatan dan lain-lain. Jika dikaitkan dengan contoh diatas, maka tidak ada salahnya pemerintah sebaiknya mempertimbangkan terlibat lebih lanjut dalam pengadaan sarana transportasi massal. Meskipun akan membebani ekonomi negara, mungkin tidak ada salahnya pemerintah memberikan bantuan subsidi bagi PT KAI agar mau membeli produk PT INKA. Sehingga PT KAI mampu melayani masyarakat dengan pengadaan kereta-kereta yang baru sesuai dengan kebutuhannya, tapi disisi lain PT INKA juga dapat terus tetap bertahan dalam bisnisnya karena adanya pesanan dari PT KAI. Kasus impor KRL bekas PT KAI ini sebenernya agak mirip-mirip dengan kasus outsourcing di AS. Kebanyakan industri IT di Amerika melakukan outsourcing kenegara-negara yang biayanya lebih murah seperti India atau Cina, tapi ternyata disisi lain dengan adanya outsourcing menimbulkan dampak yang tidak kalah buruknya, yaitu pengangguran yang semakin meningkat di Amerika karena pekerjaan mereka selama ini telah di ambil alih oleh pekerja dari negara lain. Kalo melihat ini, susah juga ya ngatur agar untung secara mikro tapi sekaligus tidak rugi secara makro.